Memaknai Arti
Kesuksesan yang Sesungguhnya Part 1
Tak ada yang pantas diucapkan
selain rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa. Begitu banyak anugerah yang saya
alami dalam dinamika kehidupan ini, salah satunya dalam meraih kesuksesan. Salah
satu impian terbesar yang diraih saat ini yaitu bisa mewujudkan mimpi untuk
menyelesaikan gelar sarjana. Salah satu impian yang terselesaikan untuk
mengenakan toga yang sangat jarang bahkan tidak pernah didapatkan oleh keluarga
saya yang lain.
Teringat ketika pejuangan
dimulai saat SD. Setiap hari jalan kaki disetapak tanah bersama teman sekampung
untuk sampai di SDN Lemper 1. Namun, ketika saya duduk di Kelas 6, rasa sedih
saya rasakan ketika melihat ketiga kakak berhenti sekolah karena memilih membantu
kehidupan keluarga, paling teringat pesan dari almarhum Bapak “Cukup kakak-kakak mu yang berhenti sekolah,
hingga akhirnya mereka harus merantau, bapak yakin kamu memiliki keinginan
sekolah, terus kejar mimpimu dalam kondisi apapun, adikmu juga saya harap bisa
mengikuti jejakmu”.
Tepat setahun yang lalu saya menulis penggalan essay sukses terbesar dalam hidupku dalam mendaftar beasiswa yang banyak diminati oleh ribuan generasi diseluruh pelosok negeri di Indonesia. Dengan bermodal keyakinan, usaha dan doa untuk menggapai itu semua. Dalam hal ini saya ingin berbagi untuk rekan-rekan semua, khususnya para generasi yang memiliki latar belakang yang sama atau bahkan jauh lebih dari apa yang saya alami. Namun, inti dari kesuksesan bukan karena siapa kita dan dari mana kita berasal. Frankly, inilah arti kesuksesan yang senggungguhnya “bukan seberapa besar pencapaian kesuksesanmu, melainkan yang perlu digaris bawahi adalah siapa orang-orang disekelilingmu yang berperan besar dalam membawamu dalam mencapai kesuksesan tersebut”
Perkenankanlah saya inginbercerita sedikit tentang latar belakang kehidupan saya. Saya anak ke 7 dari 8 bersaudara, lahir di Dusun Kadungdung Kecamatan Pademawu Kabupaten Pamekasan Madura Jawa Timur. Emak (panggilan ibu) dan almarhum Eppa’ (Bapak) adalah seorang buruh tani. Dimana Ibu hanya berpendidikan SD dan Eppa’ tidak sekolah. Semua kakak saya berhenti sekolah sejak SMP untuk membantu bapak ibu karena kondisi usianya yang makin bertambah, sehingka kakak ke 4,5 dan 6 harus merantau ke Jakarta. Ditambah adik saya berhenti sekolah karena memilih untuk bekerja. Hal ini sudah menjadi suatu pemandangan yang tidak asing, dimana kondisi kampung halaman yang memiliki ciri khas pekerjaan yang rata-rata kesehariannya sebagai seorang buruh tani, anak-anak remaja yang jarang melanjutkan pendidikan karena memilih bekerja setelah lulus SMA. Namun, kondisi ini menjadi motivasi saya tersendiri dan membuat saya berfikir bagaimana caranya untuk bisa merubah nasib keluarga dengan harapan nantinya bisa bermanfaat bagi mereka semua.
Sudah dari kecil saya terbiasa dengan kondisi yang harus dihadapi dengan penuh perjuangan. Teringat dari masa kecil harus hidup di rumah berdinding bambu, beralas tanah dan tidur tanpa kasur. Salah satu karya eppa’ untuk membuat ranjang dari bambu lalu dilapisi tikar dan disitu saya tidur bersama ema’ dan saudara yang lain, orang madura memanggilnya (lencak). Tak hanya itu, yang menjadi ciri khas kehidupan kami adalah mencari kayu bakar dan memasaknya ditungku (tomang). Airpun kami tidak usah membeli, melainkan mengambilnya disumur dan dulunya bahkan tidak dimasak langsung diminum. Ah, salah satu masa kecil yang sangat saya rindukan. Tapi Alhamdulillah, saya merasa sangat bersyukur bahwa Allah memberikan itu semua sebagai salah satu bentuk kasih sayang-Nya dalam menuntun saya untuk selalu memiliki kesabaran dan semangat dalam berjuang.
Berbicara masalah kesabaran dan perjuangan, hal ini saya makin ditempa ketika harus menempuh dunia pendidikan. Sejak SD saya berjalan kaki untuk menempuh SD di Desa sebelah yaitu SDN Lemper 1 (sekitar tahun 1998), bersama 6 rekan perjuangan kami berjalan menyusuri jalan setapak dipersawahan. Perjuangan ini pun tidak terlepas dari seorang anom (paman), namanya Emman, yang terus mengarahkan untuk lulus SD. Teringat satu pesan yang selalu menjadi motivasi saya “Liat kondisi keluargamu, siapa yang bakal merubah kalau bukan kamu”. Ketika kecil saya memang berbeda dengan saudara yang lain, hampir bisa dikatakan sebagai anak yang introvert. Satu kondisi yang membingungkan adalah ketika saya lulus SD dan tidak tahu mau kemana sekolah SMP yang ingin dituju, mengingat kondisi keluarga sendiri yang buta akan pendidikan. Hal inilah yang memberanikan diri untuk meminta bantuan anom untuk memberikan arahan. Anom saya ini adalah saudara emak yang mengerti akan pendidikan karena beliau adalah seorang guru SD. Kemudian beliau memperkenalkan sekolah SMP yang menjadi favorit di Pamekasan, yaitu SMPN 2 Pamekasan.
Perjuangannya pun semakin besar, karena selain jaraknya yang lumayan jauh ditambah dengan kendaraan yang kami miliki adalah sepeda (Jengki) serta persaingan yang harus dilakukan lewat ujian. Pada saat ujian, hal yang membuat saya terenyuh adalah ketika Yu Mur (kakak ke 2) mengantarkan saya dengan sepeda jengki tersebut, bahkan ditunggu sampai ujian selesai. Alhamdulillah, perjuangan tersebut menghasilkan buah yang sangat manis sehingga membuat saya semakin optimis. Ditambah menemukan sahabat yang sangat memotivasi dan membantu saya selama bersekolah di SMP ini. Namanya M. Aldila Syariz biasa saya panggil Kak Aldi. Begitu banyak kenangan mengharukan bersama anak ini. Walaupun pun kondisi keluarganya sangat beda dengan kondisi saya. Namun, kerendahan hatinya saya acungkan jempol. Terimakasih tumpangan komputernya untuk mengetik tugas-tugas. Sakalangkong rajeh kak, walaupun kelas 8 dan 9 kami berbeda kelas. Namun, komunikasi itu tetap berjalan dengan baik untuk saling mengingatkan “yuk kak kejar cita-citamu”. Disamping itu, paling teringat salah satu kondisi yang perlu teman-teman, mungkin dizaman sekarang masih dirasakan. Selama SMP saya berangkat dari rumah dengan sepeda setiap harinya, bahkan ketika olahraga harus berangkat setelah sholat subuh. Pada saat itu sekitar tahun 2006, teman-teman yang lain hampir semuanya sudah memakai kendaraan sepeda motor atau diantar orang tuanya masing-masing. Hanya saya dan satu atau dua anak laki-laki yang naik sepeda, yang sangat kuingat adalah rahmat dari cheguk dan Agus dari Polaghan. Sempat berfikir, kondisi yang berbeda ini. Namun, tidak pernah sekali merasa minder. Justru dengan menunujukkan kita layak dan bisa berprestasi itu sudah cukup. Mungkin teman-teman SMP yang membaca tulisan ini bisa menyaksikan perjuangan saya pada waktu itu. Terimakasih atas kerendahan hati kalian, karena saya percaya bahwa masyarakat madura memiliki kekeluargaan yang sangat tinggi.
Lain cerita SMP, lain pula cerita SMA. Ketika SMP sering terpapar bersama kak Aldi untuk sekolah di sebuah SMA yang mencetak siswanya berkiprah di dunia Internasional. Pada saat SMP waktu itu, ada seorang siswa SMA 1 Pamekasan bernama Mas Andi Oktavian Latief (siswa peraih medali emas di Olimpiade Fisika di tingkat Internasional) diarak mengelilingi kota pamekasan, termasuk didepan SMP 2 dengan membawa bendara merah putih. Dengan spontan kak aldi mengatakan “Kak, kayaknya keren kalau bisa masuk SMA sana”. Sehingga ketika lulus SMP saya memutuskan untuk sekolah disana. Saya mengatakan ke emak dan anom “Saya ingin melanjutkan SMA di SMAN 1 Pamekasan”. Ada sedikit keraguan yang terpancar dari wajah emak, namun selalu anomlah yang terus mendorong itu semua. Saya pun mendapatkan info dari BK bahwa ada seleksi undangan ke SMA tersebut, saya pun mengikutinya. Namun, tidak berhasil lewat jalur ini. Akhirnya saya harus berjuang lewat test tulis yang diselenggarakan, Alhamudulillah nama saya tertera di papan pengumuman. Hal yang paling mengharukan dan menyedihkan adalah, H+1 pengumuman saya harus membayar uang seragam yang lumayan cukup besar bagi saya, setelah kembali kerumah emak memberikan sejumlah uang dan beliau mengatakan “ ini nak untuk mencukupi kebutuhan sekolahmu” saya menanyakan ke beliau dari mana uang tersebut. Dan ternyata beliau menjual sapi peliharannya, tidak bisa berkata apapun cuma bisa berkaca-kaca.
Begitu besar makna dari uang tersebut, sehingga harus membuat saya semakin fokus untuk mengejar cita-cita. Disamping itu, waktu itu terdapat uang SPP namun saya berjuang untuk mengajukan keringanan, sehingga membuat saya lega tidak membebankan emak untuk sekolah saya. Bersyukur karena dipertemukan dengan kak aldi kembali di kelas X G, setidaknya selalu ingat dengan visi dan misi yang sama. Ditambah bertemu dengan rekan yang memiliki perjuangan yang sama dengan kondisi saya yaitu Laila. Sehingga, kami selalu memberikan motivasi dan sharing satu sama lain. Perjuangan makin berat ketika kelas XII saya menghadapi kondisi yang membuat saya demotivasi. Anom yang selalu memberikan motivasi harus berpulang ke rahmatullah dan sebulan kemudian Eppa’ tercinta juga harus menghadap-Nya. Hal ini membuat saya terpuruk. Namun, dukungan dari guru, kak Aldi dan Alhamdulillah dipertemukan dengan saudara baru Kak Suaydiy yang sering mensupport dan menampung saya belajar dan tidur dirumahnya. Ditambah 1 bulan menjelang Ujian Nasional saya harus operasi. Dengan kondisi terkendala ekonomi, saya hanya berobat ke tukang urut. Beruntungnya, saya dikelilingi orang-orang baik yang mendukung saya untuk dilakukan operasi didaerah Jombang. Terimakasih Najmah, Guru dan rekan-rekan smansa seangkatan yang sangat membantu. Semoga Allah membalas kebaikan kalian semua.
Ketika lulus SMA, saya pun semakin bingung harus melanjutkan kuliah dimana, hanya terpikir salah satu universitas swasta di Madura waktu itu. Saya pun berjuang bersama rekan kelas khususnya kak Aldi dan kak Suaydiy dan Afifun untuk berkonsultasi dengan guru khususnya Bu Ana, Bu Dewi dan Bu Riski. Tidak pernah terbesit sekalipun mau kuliah dimana, sampai akhirnya terdapat seleksi undangan dari Universitas Indonesia. Dari 5 undangan, hanya kami berempat yaitu Saya, Suaydiy, Afifun, dan Najmah yang mendaftar. Entah kenapa saya khususnya, agak ragu karena sempat berfikir selain jauh, biayanya lumayan mahal dan sangat susah untuk masuk. Hingga akhirnya kami pun sering berkonsultasi sampai menemukan titik terang bahwa terdapat beasiswa bagi masyarakat Indonesia yang memiliki keterbatasan ekonomi yaitu beasiswa Bidik Misi, dari kami berempat yang bisa mendaftar sebagai peserta bidikmisi yaitu saya dan suaydiy. Akhirnya kami menentukan jurusan yang diinginkan dan menyiapkan berkas yang dibutuhkan, Saya (Kesehatan Masyarakat), Afifun (Ilmu Komputer) Suaydiy dan Najmah (Pendidikan Dokter). Alhamdulillah perjuangan tersebut menghasilkan buah yang manis, kami berempat diterima dengan jurusan yang dipilih.
Memasuki masa kuliah saya tidak ingin banyak bercerita banyak, karena sepertinya masa kuliah membutuhkan banyak halaman untuk menulisnya (maybe in the next story). Intinya masa ini tidak kalah menantang, dimana saya harus beradaptasi dengan baik, yang sebelumnya tidak pernah mengenal celana jeans dan lain sebagainya (namun yang paling penting harus positif). Saya hanya bisa bersyukur bisa berjuang selama 3.5 tahun untuk menyelesaikan kuliah demi keluarga dan Bidik Misi yang telah mengamanahkan saya untuk bisa menyelasaikan gelar sarjana. Untuk cerita dan perjuangan masa kuliah rekan seperjuangan saya (Edwin) yang sangat mengetahui pastinya menjadi saksi perjalanan selama disini. Masih ingat ketika kita kehabisan uang dan harus berbagi makanan dan berpusing ria dikamar. Kadang hanya makan nasi dioles dengan margarin di magic com. Sabar ya cong (jargon andalan), namun karena terbiasa saya sudah tidak heran lagi. Ditambah saya bertemu orang-orang hebat yang sudah dianggap sebagai keluarga, Aldila Faza, Putri Regita, Stevan, Amalia, Kharisma Utari, Rattih, Rachma Rahim, Nur Aini Hidayah, Nabilla Sophiarani, Leni Nurahmi, Sindy Prabayuni, Daifan Catur, Sudiatmika, Alex Johandi, Gilang Talenta. Big Thanks. Rekan organisasi Sosial Masyarakat (Archer dan Superfamily), FKM UI PEDULI, BAKPAO dan OHSC yang selalu mengingatkan siapa saya. Teruntuk Prof. Meily, Pak Hendra, Pak Doni dan Bu Mila dan dosen K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu terimakasih atas bantuannya selama perkuliahan.
Tepat setahun yang lalu saya menulis penggalan essay sukses terbesar dalam hidupku dalam mendaftar beasiswa yang banyak diminati oleh ribuan generasi diseluruh pelosok negeri di Indonesia. Dengan bermodal keyakinan, usaha dan doa untuk menggapai itu semua. Dalam hal ini saya ingin berbagi untuk rekan-rekan semua, khususnya para generasi yang memiliki latar belakang yang sama atau bahkan jauh lebih dari apa yang saya alami. Namun, inti dari kesuksesan bukan karena siapa kita dan dari mana kita berasal. Frankly, inilah arti kesuksesan yang senggungguhnya “bukan seberapa besar pencapaian kesuksesanmu, melainkan yang perlu digaris bawahi adalah siapa orang-orang disekelilingmu yang berperan besar dalam membawamu dalam mencapai kesuksesan tersebut”
Perkenankanlah saya inginbercerita sedikit tentang latar belakang kehidupan saya. Saya anak ke 7 dari 8 bersaudara, lahir di Dusun Kadungdung Kecamatan Pademawu Kabupaten Pamekasan Madura Jawa Timur. Emak (panggilan ibu) dan almarhum Eppa’ (Bapak) adalah seorang buruh tani. Dimana Ibu hanya berpendidikan SD dan Eppa’ tidak sekolah. Semua kakak saya berhenti sekolah sejak SMP untuk membantu bapak ibu karena kondisi usianya yang makin bertambah, sehingka kakak ke 4,5 dan 6 harus merantau ke Jakarta. Ditambah adik saya berhenti sekolah karena memilih untuk bekerja. Hal ini sudah menjadi suatu pemandangan yang tidak asing, dimana kondisi kampung halaman yang memiliki ciri khas pekerjaan yang rata-rata kesehariannya sebagai seorang buruh tani, anak-anak remaja yang jarang melanjutkan pendidikan karena memilih bekerja setelah lulus SMA. Namun, kondisi ini menjadi motivasi saya tersendiri dan membuat saya berfikir bagaimana caranya untuk bisa merubah nasib keluarga dengan harapan nantinya bisa bermanfaat bagi mereka semua.
Sudah dari kecil saya terbiasa dengan kondisi yang harus dihadapi dengan penuh perjuangan. Teringat dari masa kecil harus hidup di rumah berdinding bambu, beralas tanah dan tidur tanpa kasur. Salah satu karya eppa’ untuk membuat ranjang dari bambu lalu dilapisi tikar dan disitu saya tidur bersama ema’ dan saudara yang lain, orang madura memanggilnya (lencak). Tak hanya itu, yang menjadi ciri khas kehidupan kami adalah mencari kayu bakar dan memasaknya ditungku (tomang). Airpun kami tidak usah membeli, melainkan mengambilnya disumur dan dulunya bahkan tidak dimasak langsung diminum. Ah, salah satu masa kecil yang sangat saya rindukan. Tapi Alhamdulillah, saya merasa sangat bersyukur bahwa Allah memberikan itu semua sebagai salah satu bentuk kasih sayang-Nya dalam menuntun saya untuk selalu memiliki kesabaran dan semangat dalam berjuang.
Berbicara masalah kesabaran dan perjuangan, hal ini saya makin ditempa ketika harus menempuh dunia pendidikan. Sejak SD saya berjalan kaki untuk menempuh SD di Desa sebelah yaitu SDN Lemper 1 (sekitar tahun 1998), bersama 6 rekan perjuangan kami berjalan menyusuri jalan setapak dipersawahan. Perjuangan ini pun tidak terlepas dari seorang anom (paman), namanya Emman, yang terus mengarahkan untuk lulus SD. Teringat satu pesan yang selalu menjadi motivasi saya “Liat kondisi keluargamu, siapa yang bakal merubah kalau bukan kamu”. Ketika kecil saya memang berbeda dengan saudara yang lain, hampir bisa dikatakan sebagai anak yang introvert. Satu kondisi yang membingungkan adalah ketika saya lulus SD dan tidak tahu mau kemana sekolah SMP yang ingin dituju, mengingat kondisi keluarga sendiri yang buta akan pendidikan. Hal inilah yang memberanikan diri untuk meminta bantuan anom untuk memberikan arahan. Anom saya ini adalah saudara emak yang mengerti akan pendidikan karena beliau adalah seorang guru SD. Kemudian beliau memperkenalkan sekolah SMP yang menjadi favorit di Pamekasan, yaitu SMPN 2 Pamekasan.
Perjuangannya pun semakin besar, karena selain jaraknya yang lumayan jauh ditambah dengan kendaraan yang kami miliki adalah sepeda (Jengki) serta persaingan yang harus dilakukan lewat ujian. Pada saat ujian, hal yang membuat saya terenyuh adalah ketika Yu Mur (kakak ke 2) mengantarkan saya dengan sepeda jengki tersebut, bahkan ditunggu sampai ujian selesai. Alhamdulillah, perjuangan tersebut menghasilkan buah yang sangat manis sehingga membuat saya semakin optimis. Ditambah menemukan sahabat yang sangat memotivasi dan membantu saya selama bersekolah di SMP ini. Namanya M. Aldila Syariz biasa saya panggil Kak Aldi. Begitu banyak kenangan mengharukan bersama anak ini. Walaupun pun kondisi keluarganya sangat beda dengan kondisi saya. Namun, kerendahan hatinya saya acungkan jempol. Terimakasih tumpangan komputernya untuk mengetik tugas-tugas. Sakalangkong rajeh kak, walaupun kelas 8 dan 9 kami berbeda kelas. Namun, komunikasi itu tetap berjalan dengan baik untuk saling mengingatkan “yuk kak kejar cita-citamu”. Disamping itu, paling teringat salah satu kondisi yang perlu teman-teman, mungkin dizaman sekarang masih dirasakan. Selama SMP saya berangkat dari rumah dengan sepeda setiap harinya, bahkan ketika olahraga harus berangkat setelah sholat subuh. Pada saat itu sekitar tahun 2006, teman-teman yang lain hampir semuanya sudah memakai kendaraan sepeda motor atau diantar orang tuanya masing-masing. Hanya saya dan satu atau dua anak laki-laki yang naik sepeda, yang sangat kuingat adalah rahmat dari cheguk dan Agus dari Polaghan. Sempat berfikir, kondisi yang berbeda ini. Namun, tidak pernah sekali merasa minder. Justru dengan menunujukkan kita layak dan bisa berprestasi itu sudah cukup. Mungkin teman-teman SMP yang membaca tulisan ini bisa menyaksikan perjuangan saya pada waktu itu. Terimakasih atas kerendahan hati kalian, karena saya percaya bahwa masyarakat madura memiliki kekeluargaan yang sangat tinggi.
Lain cerita SMP, lain pula cerita SMA. Ketika SMP sering terpapar bersama kak Aldi untuk sekolah di sebuah SMA yang mencetak siswanya berkiprah di dunia Internasional. Pada saat SMP waktu itu, ada seorang siswa SMA 1 Pamekasan bernama Mas Andi Oktavian Latief (siswa peraih medali emas di Olimpiade Fisika di tingkat Internasional) diarak mengelilingi kota pamekasan, termasuk didepan SMP 2 dengan membawa bendara merah putih. Dengan spontan kak aldi mengatakan “Kak, kayaknya keren kalau bisa masuk SMA sana”. Sehingga ketika lulus SMP saya memutuskan untuk sekolah disana. Saya mengatakan ke emak dan anom “Saya ingin melanjutkan SMA di SMAN 1 Pamekasan”. Ada sedikit keraguan yang terpancar dari wajah emak, namun selalu anomlah yang terus mendorong itu semua. Saya pun mendapatkan info dari BK bahwa ada seleksi undangan ke SMA tersebut, saya pun mengikutinya. Namun, tidak berhasil lewat jalur ini. Akhirnya saya harus berjuang lewat test tulis yang diselenggarakan, Alhamudulillah nama saya tertera di papan pengumuman. Hal yang paling mengharukan dan menyedihkan adalah, H+1 pengumuman saya harus membayar uang seragam yang lumayan cukup besar bagi saya, setelah kembali kerumah emak memberikan sejumlah uang dan beliau mengatakan “ ini nak untuk mencukupi kebutuhan sekolahmu” saya menanyakan ke beliau dari mana uang tersebut. Dan ternyata beliau menjual sapi peliharannya, tidak bisa berkata apapun cuma bisa berkaca-kaca.
Begitu besar makna dari uang tersebut, sehingga harus membuat saya semakin fokus untuk mengejar cita-cita. Disamping itu, waktu itu terdapat uang SPP namun saya berjuang untuk mengajukan keringanan, sehingga membuat saya lega tidak membebankan emak untuk sekolah saya. Bersyukur karena dipertemukan dengan kak aldi kembali di kelas X G, setidaknya selalu ingat dengan visi dan misi yang sama. Ditambah bertemu dengan rekan yang memiliki perjuangan yang sama dengan kondisi saya yaitu Laila. Sehingga, kami selalu memberikan motivasi dan sharing satu sama lain. Perjuangan makin berat ketika kelas XII saya menghadapi kondisi yang membuat saya demotivasi. Anom yang selalu memberikan motivasi harus berpulang ke rahmatullah dan sebulan kemudian Eppa’ tercinta juga harus menghadap-Nya. Hal ini membuat saya terpuruk. Namun, dukungan dari guru, kak Aldi dan Alhamdulillah dipertemukan dengan saudara baru Kak Suaydiy yang sering mensupport dan menampung saya belajar dan tidur dirumahnya. Ditambah 1 bulan menjelang Ujian Nasional saya harus operasi. Dengan kondisi terkendala ekonomi, saya hanya berobat ke tukang urut. Beruntungnya, saya dikelilingi orang-orang baik yang mendukung saya untuk dilakukan operasi didaerah Jombang. Terimakasih Najmah, Guru dan rekan-rekan smansa seangkatan yang sangat membantu. Semoga Allah membalas kebaikan kalian semua.
Ketika lulus SMA, saya pun semakin bingung harus melanjutkan kuliah dimana, hanya terpikir salah satu universitas swasta di Madura waktu itu. Saya pun berjuang bersama rekan kelas khususnya kak Aldi dan kak Suaydiy dan Afifun untuk berkonsultasi dengan guru khususnya Bu Ana, Bu Dewi dan Bu Riski. Tidak pernah terbesit sekalipun mau kuliah dimana, sampai akhirnya terdapat seleksi undangan dari Universitas Indonesia. Dari 5 undangan, hanya kami berempat yaitu Saya, Suaydiy, Afifun, dan Najmah yang mendaftar. Entah kenapa saya khususnya, agak ragu karena sempat berfikir selain jauh, biayanya lumayan mahal dan sangat susah untuk masuk. Hingga akhirnya kami pun sering berkonsultasi sampai menemukan titik terang bahwa terdapat beasiswa bagi masyarakat Indonesia yang memiliki keterbatasan ekonomi yaitu beasiswa Bidik Misi, dari kami berempat yang bisa mendaftar sebagai peserta bidikmisi yaitu saya dan suaydiy. Akhirnya kami menentukan jurusan yang diinginkan dan menyiapkan berkas yang dibutuhkan, Saya (Kesehatan Masyarakat), Afifun (Ilmu Komputer) Suaydiy dan Najmah (Pendidikan Dokter). Alhamdulillah perjuangan tersebut menghasilkan buah yang manis, kami berempat diterima dengan jurusan yang dipilih.
Memasuki masa kuliah saya tidak ingin banyak bercerita banyak, karena sepertinya masa kuliah membutuhkan banyak halaman untuk menulisnya (maybe in the next story). Intinya masa ini tidak kalah menantang, dimana saya harus beradaptasi dengan baik, yang sebelumnya tidak pernah mengenal celana jeans dan lain sebagainya (namun yang paling penting harus positif). Saya hanya bisa bersyukur bisa berjuang selama 3.5 tahun untuk menyelesaikan kuliah demi keluarga dan Bidik Misi yang telah mengamanahkan saya untuk bisa menyelasaikan gelar sarjana. Untuk cerita dan perjuangan masa kuliah rekan seperjuangan saya (Edwin) yang sangat mengetahui pastinya menjadi saksi perjalanan selama disini. Masih ingat ketika kita kehabisan uang dan harus berbagi makanan dan berpusing ria dikamar. Kadang hanya makan nasi dioles dengan margarin di magic com. Sabar ya cong (jargon andalan), namun karena terbiasa saya sudah tidak heran lagi. Ditambah saya bertemu orang-orang hebat yang sudah dianggap sebagai keluarga, Aldila Faza, Putri Regita, Stevan, Amalia, Kharisma Utari, Rattih, Rachma Rahim, Nur Aini Hidayah, Nabilla Sophiarani, Leni Nurahmi, Sindy Prabayuni, Daifan Catur, Sudiatmika, Alex Johandi, Gilang Talenta. Big Thanks. Rekan organisasi Sosial Masyarakat (Archer dan Superfamily), FKM UI PEDULI, BAKPAO dan OHSC yang selalu mengingatkan siapa saya. Teruntuk Prof. Meily, Pak Hendra, Pak Doni dan Bu Mila dan dosen K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu terimakasih atas bantuannya selama perkuliahan.

Semoga segala usaha dan doa menjadi barokah dan manfaat untuk keluarga, diri sendiri dan orang-orang disekitar Mas. :)
BalasHapusThanks mas Aan Yudianto.
Hapus